-->

History Nine Wali / Walisongo (wali9) - Sunan Bonang



He was the children Sunan Ampel, which means grandson of Maulana Malik Ibrahim. Makdum name was Raden Ibrahim. Born estimated 1465 M of a woman named Nyi Ageng Manila, the daughter of a duke in Tuban Sunan Kudus the Sunan Kalijaga much studied. Then he ventured into various arid regions in Central Java as Sragen, Simo up South Mountain. Berdakwahnya any way mimic Sunan Kalijaga approach: very tolerant of the local culture. Even more subtle way of delivery. That's why the trustees, who struggled to find a preacher to the Holy predominantly fast-appointed followers. Way of approaching the Ghost Festival is to utilize the symbols of Hinduism and Buddhism. This is evident from the architecture of the Holy Mosque. Its towers, gates and shower / ablution padasan representing eight Buddhist path. A form of compromise between Festival.
One time, he was fishing communities to go to the mosque to listen to his sermons. For that, he deliberately tether his cow, named Kebo Gumarang in the courtyard. People who glorify Hindu cow, to be sympathetic. Especially after they heard the explanation Festival of Surat al-Baqara which means "cow". Until now, most traditional societies Holy, still refusing to slaughter cattle.
Festival also compose stories ness. The story was drawn up in serial, so that people interested in following the rest. An approach that seems to adopt the story of the 1001 nights Abbasid Caliphate. With a binding that's Festival community. Not only do such preaching Festival. As his father, he was also a Commander of the Sultanate of Demak War. He fought at Demak, under the leadership of Sultan Prawata, fought against the Duke Jipang, Arya Penangsang

=========================================================================
Bahasa Indonesia

Sunan Bonang
Ia anak Sunan Ampel, yang berarti juga cucu Maulana Malik Ibrahim. Nama kecilnya adalah Raden Makdum Ibrahim. Lahir diperkirakan 1465 M dari seorang perempuan bernama Nyi Ageng Manila, puteri seorang adipati di Tuban

Sunan Kudus banyak berguru pada Sunan Kalijaga. Kemudian ia berkelana ke berbagai daerah tandus di Jawa Tengah seperti Sragen, Simo hingga Gunung Kidul. Cara berdakwahnya pun meniru pendekatan Sunan Kalijaga: sangat toleran pada budaya setempat. Cara penyampaiannya bahkan lebih halus. Itu sebabnya para wali –yang kesulitan mencari pendakwah ke Kudus yang mayoritas masyarakatnya pemeluk teguh-menunjuknya.
Cara Sunan Kudus mendekati masyarakat Kudus adalah dengan memanfaatkan simbol-simbol Hindu dan Budha. Hal itu terlihat dari arsitektur masjid Kudus. Bentuk menara, gerbang dan pancuran/padasan wudhu yang melambangkan delapan jalan Budha. Sebuah wujud kompromi yang dilakukan Sunan Kudus.

Suatu waktu, ia memancing masyarakat untuk pergi ke masjid mendengarkan tabligh-nya. Untuk itu, ia sengaja menambatkan sapinya yang diberi nama Kebo Gumarang di halaman masjid. Orang-orang Hindu yang mengagungkan sapi, menjadi simpati. Apalagi setelah mereka mendengar penjelasan Sunan Kudus tentang surat Al Baqarah
yang berarti “sapi betina”. Sampai sekarang, sebagian masyarakat tradisional Kudus, masih menolak untuk menyembelih sapi.

Sunan Kudus juga menggubah cerita-cerita ketauhidan. Kisah tersebut disusunnya secara berseri, sehingga masyarakat tertarik untuk mengikuti kelanjutannya. Sebuah pendekatan yang tampaknya mengadopsi cerita 1001 malam dari masa kekhalifahan Abbasiyah. Dengan begitulah Sunan Kudus mengikat masyarakatnya.
Bukan hanya berdakwah seperti itu yang dilakukan Sunan Kudus. Sebagaimana ayahnya, ia juga pernah menjadi Panglima Perang Kesultanan Demak. Ia ikut bertempur saat Demak, di bawah kepemimpinan Sultan Prawata, bertempur melawan Adipati Jipang, Arya Penangsang.



Related Posts

Posting Komentar

Subscribe Our Newsletter